Mekanisme resolusi konflik seperti apa
PPKn
Ghalluu21
Pertanyaan
Mekanisme resolusi konflik seperti apa
1 Jawaban
-
1. Jawaban asfanahema
2. 4 TAHAP RESOLUSI KONFLIK
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan:
Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial.
Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula.
Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng.
Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng.
1. dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut .
Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah “Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai. (Miall: 2000, 302-344).
Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan.
Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system, Widjajanto: 2001) Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang oleh Lund (1996, 384-385) didefinisikan sebagai:
“preventive diplomacy, or conflict prevention, consists of governmental or non-governmental actions, policies, and institutions that are taken deliberately to keep particular states or organized groups within them from threatening or using organized violence, armed force, or related forms of coercion such as repression as the means to settle interstate or national political disputes, especially in situations where the existing means cannot peacefully manage the destabilizing effects of economic, social, political, and international change”.
Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi konflik (Widjajanto: 2001). Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental Organisations (NGOs) (Aall:1996), mediator internasional (Zartman dan Touval: 1996), atau institusi keagamaan (Sampson: 1997; Lederach: 1997).
Tulisan ini telah berusaha menghadirkan empat tahap resolusi konflik. Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas