konsep kepemimpinan menurut budaya toraja
Sejarah
Ningsiharin
Pertanyaan
konsep kepemimpinan menurut budaya toraja
1 Jawaban
-
1. Jawaban ardykafarera
konsep kepemimpinan
Ketika pemimpin-pemimpin Toraja ditaklukkan Belanda pada awal abad 20 yang diikutidengan pendudukan tentara Jepang, sendi-sendi kehidupan masyarakat Toraja tradisional mulai mengalami guncangan hebat. Tatanan masyarakatporak poranda karena kekuasaan dan kewenangan berbagai institusi yang mengawalaluk sola pemalidipangkas sepertitongkonan,to parengnge’, to minaa, dansejumlah sejumlah institusi lainnya. Pemerintah Belanda menerapkan sistim pemerintahan modern yang menegasikan peran dan fungsi tokoh-tokohaluk, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pemimpin tradisional. Tidak lama setelah pendudukan Belanda, para misionaris datang membawa Injil yang menganggapaluk sia pemaliadalahaluk kamalilinan. Masyarakat kehilangan panduan dan acuan.Pendekatanberbeda digunakan misionaris yang masuk ke Tanah Batak/Karo yang lebih akomodatif terhadap sistem nilai tradisional yang hidup di masyarakat, sehinggafalsafahdalianna tolutetap mengakar kuat dalam masyarakat Batak/Karo bahkantetapmenjadi tumpuan kehidupan modern masyarakat Batak/Karo hingga saat ini. Demikian pula denganulosyaitukain khususyang kurang lebih setara denganmaa’dalam masyarakat Toraja, tetap mendapat tempattersendiridalamkehidupan sehari-harimasyarakat Batak/Karo termasuk dalam acara-acara gerejani.Tidak lama setelah kedatangan para misionaris, sebagian masyarakat Toraja mulai menerima ajaran Injil dan sebagian lainnya tetap mengikutialuk to dolo. Mereka yang masih tetapyong meman(istilah lain untukaluk sola pemali) secara perlahan tetapi pasti mulai tidak bisa lagi menjalankan berbagai ritual yang diatur dalamaluk sola pemali, karena pihak-pihak yang berwenang dimasyarakat sepertitominaa, to parengge’, ambe’ tondok, puang, tidak bisa lagi menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya untuk mengawalaluk sola pemalidi dalam sistim yang dijalankan pemerintah Belanda. Sedangkan mereka yang mengikuti Injil, dalam hal-hal tertentu mengalami kekosongan, karena mereka tidak menemukan pengganti dari banyak ritual kehidupan yang ada dalamaluk todolo,sementara ritus-ritus tersebut sudah mendarah daging dalam sistim kehidupan mereka sebelumnya. Ritus-ritus pengucapan syukur yang banyak dan kompleks, ritus kematian, ritus tanaman, ritus rumah, dan sebagainya, tidak ditemukan penggantinya dalam kehidupan menggereja. Pola hidup yang semarak dengan berbagai upacara, berubah menjadi kehidupan yang cenderung monoton. Lambat laun mereka mulai berimprovisasi, beberapa bagian dari ritus-ritus tertentu sepertirambu solo’mulai dilaksanakan kembali, sehingga mulai terjadi ketegangan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai Injili.Seperti sudah dijelaskan pada awal tulisanini, berbagai hal yang kelihatan seperti ritus tidak lain adalah produk budaya, di balik itu terdapat pola fikir dan sistim nilai. Oleh karena itu masyarakat Toraja mulai kehilangan orientasi nilai. Mereka yang masih tetap dalamaluk sola pemalikehilangan pemimpin ibarat ayam kehilangan induk, sedangkan mereka yang sudah mengikuti ajaran Injil, kehidupan menggereja tidak dapat mengisi seluruh kebutuhan batin mereka, di lain pihak mereka tidak dapat lagi menerapkan sistim nilai serta polahidup aluk todolo sola pemalinya. Hal ini diperparah oleh sikap Gereja yang menganggap seluruh sistimaluk sia pemali todoloadalah berhala alias kafir.Disorientasi sistim nilai menjadi semakin parah setelah masa kemerdekaan, ketika orang-orang Toraja mulai menikmati pendidikan dan mengenal berbagai faham modern seperti demokrasi dengan kesataraan semua warga negara.Aluk sola pemalimendapat tantangan luar biasa dari orang-orang muda Toraja yang mulai mengenyam pendidikan. Validitas dan logika dari seluruh ajaranaluk sola pemalidipertanyakan dan ditantang. Berbagai pemali yang sebagian besar sesungguhnya merupakan ajaran moral diabaikan bahkan dicemoohkan dengan dalih modernisasi dan kemerdekaan –buda bang tu pemali, merdeka miki’. Sendi-sendialuk todolobesertapemalinya satu per satu mulai rontok, demikian pula dengan sistim nilai, pola hubungan masyarakat yang menyertai, dan semua sistim ikutan lainnya. Tidak ada yang berupaya menegakkannya kembali karena para pendekarnya dalam system Toraja tradisional tidak lagi mempunyai kemampuan apapun alias tidak berdaya. Berbagai aturan kemasyarakatan lama yang dianggap bertentangandengan nilai-nilai modern ditinggalkan. Pelaksanaan beberapa ritual yang tetap dihidupkan,dilaksanakan sekehendak hati sesuai kepentingan, karena tidak ada lagi acuan baku. Gereja mencoba mengatur, tetapi tidak dipatuhi karena dianggap bukan kewenangannya, sedangkan Pemerintah Daerah hingga kini kelihatannya gamang, tidak tahuapa yang akan dilakukan. Masyarakat Toraja berjalansempoyongan, tanpa acuan yang jelas dantanpa prinsip yang kokoh.Kehilangan orientasi masyarakat Toraja modern terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan.